Oleh; Mula Harahap
Saya percaya bahwa kita semua adalah orang yang pernah menulis. Hanya saja disebabkan oleh anggapan yang salah tentang menulis dan kepenulisan, kita merasa diri bukan penulis dan karenanya menjadi segan untuk menulis.
Sampai pada level tertentu, menulis itu bukanlah bakat. Menulis itu adalah sebuah kemampuan, yang seyogianya dimiliki oleh semua orang yang sudah tahu “tulis-baca”, karena setiap hari tokh. kita tokh menulis. Kita menulis memo, kita menulis surat, kita menulis proposal, kita menulis laporan, dsb. Tapi kemampuan itu tidak kita pelihara dan kembangkan. Bila tidak ada kebutuhan untuk berkomunikasi dengan sebuah sosok yang nyata, kita cenderung untuk tidak menulis.
Sampai pada level yang tertentu juga menulis itu memiliki fungsi yang sama dengan berbicara. Kita menulis untuk mengkomunikasikan diri kepada oring lain. Tapi menulis memiliki keunggulan lain. Melalui tulisan kita dimungkinkan untuk mengkomunikasikan diri kita kepada orang lain yang sosoknya tidak nyata-nyata ada. Kalau kita sedang merasa gembira atau merasa memiliki sebuah pikiran, kita bisa mengeluarkannya lewat tulisan, menumpahkannya di buku harian, dan karenanya merasa lega.
Berbeda dengan berbicara, maka dalam menulis kita tidak perlu harus mencari seseorang untuk membaca tulisan kita. Kalau kita sedang merasa gembira atau memiliki sebuah pikiran, kita bisa langsung menuangkan apa yang sedang kita rasakan atau pikirkan itu dalam bentuk tulisan tanpa perduli apakah di dekat kita ada seseorang yang akan membacanya. Sementara itu, dalam hal membaca, kalau kita sedang merasa gembira atau memiliki sebuah pikiran, kita tidak bisa menuangkan apa yang sedang kita rasakan atau pikirkan itu dalam bentuk pembicaraan bila tidak ada orang lain di dekat kita. (Kita akan dianggap orang sebagai sedang menderita sakit jiwa).
Setiap orang yang tahu “baca-tulis” seyogianya mengembangkan kemampuan dan kebiasaan menulisnya. Menulis itu adalah proses pembebasan. Dengan merumuskan dan menuangkan segala hal yang ada dalam hati dan pikiran ke dalam bentuk tulisan, kita akan mengalami kelegaan. Kemudian, pada gilirannya, tempat yang kosong, yang telah ditinggalkan oleh perasaan dan pikiran yang telah kita tuangkan itu, akan bisa diisi oleh perasaan dan pikiran yang lain. Karena itu menulis haruslah menjadi sebuah kebiasaan.
Mungkin, pada tahap awal, kebiasaan itu tidak serta-merta akan membuat kita terkenal dan memperoleh banyak uang (apalagi, kita tokh hanya menuliskan hal-hal yang paling rahasia dari kehidupan kita dan menyimpannya rapat-rapat di buku catatan harian). Tapi, paling tidak, kebiasaan menulis itu akan membuat perasaan dan pikiran kita waras. (Tentu saja kebiasaan untuk mencatatkan hal-hal yang paling sepele atau paling rahasia dari kehidupan kita di buku catatan harian, akan mengasah juga ketrampilan kita dalam menuliskan hal-hal lain seperti surat, laporan, esai, cerita pendek, novel dsb.)
Tujuan dan Motivasi Menulis
Harus kita akui bahwa berbeda dengan di negara-negara Eropa atau AS, sistem pengajaran di bangku sekolah kita memang tidak terlalu mendorong kita untuk menulis. Sementara itu nilai-nilai yang berkembang di masyarakat juga masih belum memberikan penghargaan yang cukup tinggi bagi orang yang mampu dan gemar menulis. (Banyak orang yang tidak bisa menulis namun kaya raya. Sebaliknya banyak juga orang yang bisa menulis tapi kehidupan ekonominya pas-pasan).
Tapi negara dan bangsa ini sedang bergerak ke sebuah peradaban yang lebih tinggi dimana komunikasi tertulis akan semakin menguasai kehidupan. Dan di dalam peradaban yang demikian kebiasaan menulis akan memberikan banyak sekali manfaat. Mungkin manfaat yang kita terima bukanlah dari honor atas penerbitan karya kita. Manfaat itu mungkin akan datang dalam bentuk pengakuan: orang lain yang membaca tulisan kita, dan yang kemudian menganggap kita memiliki kompetensi dalam aspek tertentu dari kehidupan ini. Karena itu–ada atau tidak ada penerbit–marilah kita membangun kebiasaan menulis
Saya selalu memotivasi anak-anak dengan berkata, “Kalau hatimu sedang susah karena merasa sepi dan tidak dimengerti orang lain, maka tulislah perasaanmu itu di buku harianmu. Dengan menuliskannya maka—paling tidak–kau akan merasa terbebaskan. …..”
Demikian juga kalau anak-anak saya sedang “meluap-luap” disebabkan oleh sebuab pikiran atau gagasan yang ada di kepalanya, saya selalu menganjurkan mereka untuk menulis,.dan menjadikan menulis sebagai sebuah kebutuhan yang sama pentingnya dengan membaca.
Bila menulis telah menjadi sebuah kebutuhan, maka pada tahap berikutnya kita tidak lagi hanya menuliskan hal-hal yang paling pribadi dalam kehidupan ini ini di buku catatan harian. Kita akan menjadi terbiasa untuk menuliskan apa saja yang sedang kita pikirkan, baik itu yang menyangkut pergaulan, pendidikan, pelajaran dsb.
Kebiasaan menulis seperti yang telah diuraikan di bagian terdahlu itu jugalah yang menyebabkan orang-orang di negara-negara seperti AS dan Eropa menjadi begitu produktif.
Orang selalu beranggapan bahwa produktivitas penerbitan buku di AS dan Eropa sedemikian tingginya disebabkan karena baiknya imbalan honorarium yang diterima penulis. Padahal yang terjadi tidaklah demikian.Di negara seperti AS dan Eropa, penulis yang menerima imbalan atas penerbitan bukunya pun hanyalah merupakan segelintir orang saja. Sebagian besar dari para penulis itu adalah orang yang seperti kita juga., yang menulis buku hanya karena ingin mengekpresikan dan membagi pikiran serta perasaannya, dan yang nyaris tidak menerima honorarium yang berarti dari penerbitan bukunya.
Tapi tentu saja, atas penerbitan bukunya itu, sang penulis menerima imbalan lain. Ia akan mendapat pengakuan akan keahliannya di bidang tertentu. Dan hal itu menyebabkan ia diundang menjadi pengajar atau penceramah di berbagai tempat, atau dilamar untuk menjadi peneliti di sebuah lembaga.
Di kalangan intelektual di negara AS dan Eropah berlaku sebuah pemeo “To publish, or to perish!” Sedemikian perlunya orang untuk menulis agar ia tetap exist di bidang kehidupan atau profesi yang digelutinya, atau ia akan ditinggalkan dan dilupakan orang.
Mengenal Berbagai Bentuk Penulisan
Untuk memotivasi dan menanamkan kebiasaan menulis, saya selalu menganjurkan orang agar menulis apa yang diminatinya, apa yang sedang berkecamuk di perasaan dan pikirannya, serta apa yang dikuasainya.
Kalau seseorang sedang berbunga-bunga hatinya, maka tuliskanlah perasaan itu dengan jujur. Kalau seseorang sedang terkesan akan suasana tempat yang dikunjunginya, maka tuliskanlah kesan itu dengan jujur. Kalau seseorang sedang berpikir-pikir keras mengapa orang baik harus menderita dalam kehidupan di dunia ini, maka tuliskanlah pikiran itu dengan jujur.
Kalau kita memiliki kepekaan perasaan dan pikiran (kepekaan perasaan dan pikiran adalah suatu hal yang harus diasah setiap waktu), menangkap sesuatu yang menarik dengan kepekaan itu, dan menuliskannya dengan jujur maka orang akan tertarik membacanya.
Banyak karya-karya besar di dunia ini yang ditulis oleh pengarangnya karena ia menangkap sesuatu dengan perasaan dan pikirannya, menggadang-gadang sesuatu itu, lalu ketika sesuatu itu sudah tidak bisa lagi dibendungnya dia menuangkannya dalam bentuk tulisan yang jujur. Pada mulanya—sebagaimana yang telah diuraikan di atas—motivasinya ketika menuliskan itu hanyalah menyalurkan rasa sepi dan gelisahnya. Tapi kemudian tulisan tersebut terbaca oleh orang lain, dianggap menarik, diterbitkan dan memberikan kekayaan pengalaman bagi ribuan atau bahkan jutaan pembaca lainnya.
Kita tentu pernah mendengar buku yang berjudul “The Diary of Anne Frank”. Buku itu bermula dari catatan harian seorang gadis Yahudi selama masa persembunyiannya ketika Belanda sedang diduduki Jerman..
Anne Frank bersama seorang saudara perempuannya serta ayah dan ibunya selama lebih dari dua tahun bersembunyi dari pengejaran tentara Nazi Jerman di sebuah loteng bangunan di kota Amsterdam bersama dengan keluarga Yahudi lainnya yang memiliki seorang putera sebaya Anne Frank.
Di dalam buku catatan hariannya Anne Frank menuliskan kejadian-kejadian sepele yang dialaminya di loteng yang sempit itu. Tapi sedemikian jujurnya ia menuliskan pengalamannya sehingga dari hal-hal sepele itu pembaca bisa menangkap ketakutan, kebingungan dan kengerian yang sedang dialaminya.
Buku catatan harian tersebut terputus dengan tiba-tiba karena pada akhirnya keluarga itu tertangkap oleh tentara Nazi Jerman dan dibawa ke kamp konsentrasi. Tapi seusai Perang Dunia II ada orang yang menemukan buku catatan harian gadis yang malang itu, menerbitkannya, dan menjadi best-seller. Buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa dunia, termasuk ke dalam bahasa Indonesia.
Hal yang sama juga berlaku dengan buk seri “Little House on The Prairie” karangan Laura Ingalls Wilder. Pada mulanya Laura Ingalls tidak bermaksud untuk menulis buku. Dia hanya menuliskan kenangan-kenangan indah yang dialaminya bersama saudara-saudaranya, dan ayah serta ibunya, ketika keluarga itu mengadakan perjalanan ke arah Barat AS untuk mencari daerah pertanian yang lebih subur.
Di kemudian hari catatan-catatan yang dituliskan di lembaran buku tulis itu ditemukan oleh sanak saudaranya dan diperlihatkan kepada seorang penerbit. Buku itu diterbitkan, difilemkan dan menjadi inspirasi bagi ratusan juta orang yang ada di muka bumi ini.
Penulis-penulis muda tidak perlu harus memaksakan diri menulis fiksi. Bila dilihat dengan kepekaaan perasaan dan pikiran, banyak hal yang terjadi di sekitar kita sebenarnya adalah “fiksi” yang menarik.
V.S. Naipaul, pengarang berdarah India, kelahiran Trinidad, warga negara Inggeris dan yang sekarang bermukim di Inggeris itu adalah seorang pemenang hadiah nobel. Dulu ia banyak menulis novel fiksi. Tapi akhir-akhir ini memilih menulis jurnal-jurnal perjalanan.
Atas perubahan gaya penulisannya itu ia pernah ditanyai oleh majalah Newsweek, dan V.S. Naipaul menjawab, “Dulu ketika jaman Charles Dickens, sarana transportasi masih terbatas. Orang tidak terlalu bebas pergi kemana saja dan melihat apa saja. Karena itu Charles Dickens harus mereka-reka sebuah cerita sebagai bingkai untuk meletakkan gagasannya. Tapi kini jaman sudah berbeda. Saya bebas pergi kemana saja dan melihat apa saja. Saya bisa melihat drama dan cerita terjadi dalam kehidupan manusia, dan karena itu saya tidak perlu mereka-rekanya. Saya tinggal memungutnya saja dan memakainya sebagai bingkai untuk meletakkan gagasan saya……”
Kita yang pernah membaca kisah-kisah perjalanan V.S. Naipaul, tentu akan bisa menangkap apa yang dimaksud oleh V.S. Naipaul. Kisah-kisahnya memang hanya merupakan jurnal perjalanan. Tapi ketika kita membaca kisah-kisah perjalanan itu, kita seperti membaca sebuah novel. V.S.Naipaul berhasil mengajak kita untuk ikut merasakan perjalanan yang dilakukannya itu.
Kepada para penulis muda saya selalu menganjurkan agar jangan terlalu dipusingkan dengan bentuk penulisan. Kalau seseorang merasa nyaman untuk menuangkan gagasannya dalam gaya menulis buku catatan haran, maka pakailah gaya itu. Ada banyak sekali buku yang terkenal dan menarik yang berawal dari buku catatan harian.
Kalau seseorang merasa nyaman untuk menuangkan gagasannya dalam gaya menulis surat, maka pakailah gaya itu. Ada banyak sekali buku terkenal dan menarik yang berawal dari kumpulan surat atau kumpulan surat-menyurat.
Kalau seseorang merasa nyaman untuk menuangkan gagasannya dalam gaya menulis “personal essay”, maka pakailah gaya itu. Cerita yang ditulis dari perspektif orang pertama, dan yang memakai “saya” dan “aku” sebagai penulis, asalkan ditulis dengan jujur juga selalu menarik untuk dibaca.
Hal lain yang ingin saya katakan kepada penulis muda, jangan terlalu perduli dengan tata bahasa. Saya bukan bermaksud hendak menyepelekan tata bahasa. Tapi saya ingin mengatakan janganlah kita menjadi terhalang menulis hanya karena takut bahwa bahasa yang kita gunakan akan menjadi cemoohan orang. Tulislah apa yang anda rasa senang untuk anda tulis. Bila ada penerbit yang tertarik hendak menerbitkan tulisan tersebut (karena isinya memang baik dan menarik) maka biarlah menjadi tugas mereka untuk memperbaiki tata bahasa anda.
Mengenal Berbagai Media Penulisan
Setiap penulis tentu selalu ingin karyanya dipublikasikan dan mendapat umpan balik dari pembaca. (Kecuali kalau dia menuliskan hal-hal yang bersifat rahasia dan mengganggu pikirannya, dan hanya menuangkannya dalam buku catatan hariannya).
Dulu media untuk mempublikasikan tulisan sangat terbatas. Kita harus mengirimkannya ke redaksi majalah atau koran, atau kita harus memfotokopi dan mencetaknya sendiri untuk dibagikan kepada teman-teman. Tapi kini, berkat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, kita memiliki pilihan yang lebih banyak. Kita tidak perlu harus tergantung kepada “belas kasihan” redaktur media cetak, yang “mood”-nya pun kadang-kadang suka “naik-turun” itu. Kita bisa mengirimkan tulisan kita ke berbagai “mailing-list”. Bahkan kita bisa membuat “web-site” atau “web-log” (blog) secara cuma-cuma sebagai sarana untuk mempublikasikan tulisan kita.
Ada orang yang berpendapat bahwa tulisan yang dipublikasikan di “blog” sendiri kurang bergengsi dibandingkan dengan tulisan yang dipublikasikan di sebuah media cetak yang resmi dan komersil.
Tapi saya memiliki pandangan yang berbeda. Seperti yang telah saya uraikan terdahulu, setiapmedia cetak memiliki kebijakan editorialnya masing-masing. Sebaik apa pun tulisan kita, tapi kalau tulisan tersebut tidak sesuai dengan kebijakan media yang bersangkta, dia belum tentu akan dimuat. Disamping itu editor media tersebut juga memiliki “mood”-nya sendiri yang kadang-kadang sangat tergantung situasi dan waktu. Dan hal ini masih belumditambah lagi dengan faktor terbatasnya ruangan dan banyaknya tulisan yang menunggu giliran pemuatan.
Tulisan yang dipulikasikan di blog sendiri memang tidak akan mendapat honor. Tapi komentar yang kita terima dari pembaca acapkali jauh lebih kritis dari yang kita terima dari editor media. Dan komentar ini tentu saja sangat berguna untuk dijadikan bahan pelajaran dalam memperbaiki penulisan di masa mendatang.
Dewasa ini banyak sekali buku yang tadinya dipublikasikan di blog pengarangnya sendiri. Tapi karena tulisan-tulisan tersebut cukup popular di kalangan pembaca blog, maka penerbit segera mencium “bau komersil” di dalamnya dan menghubungi pengarang untuk mendapatkan hak menerbitkan tulisan-tulisan tersebut dalam bentuk buku. Majalah–tentu saja–perlu dipertimbangkan sebagai media untuk mempublikasikan tulisan. Tapi saya tetap menganjurkan setiap penulis muda agar membangun blog-nya sendiri [.]
: